Tiga Penanda yang Menandakan Hidup yang Dijalani dengan Baik

Banyak studi telah dilakukan dan banyak sekali karya sastra tersedia hari ini tentang bagaimana menjalani hidup dengan baik dan menua dengan baik. Penyebut yang paling umum dari semuanya itu adalah kebutuhan untuk menjadi bagian dari komunitas yang sehat. Komunitas yang terdiri dari orang-orang yang dapat menghubungkan diri dengan satu sama lain dalam tata cara yang dalam secara makna dan sangat memperkaya. Anggota yang mengasihi, memedulikan, dan mendukung satu sama lain. Dan, untuk inilah Gereja Yesus Kristus dirancang dan orang Kristen, dari semua jenis orang, sangatlah terberkati.

Namun, dalam artikel ini, saya ingin meninjau kehidupan yang dijalani dengan baik dari perspektif seorang individu. Apa yang dibutuhkan dalam tingkat pribadi jika kita ingin menjalani hidup dengan baik dan menua dengan baik juga? Terdapat tiga tanda yang menentukan yang ingin saya ajukan.

Pertama, kehidupan seseorang ditandai dengan kerendahan hati. Itu merupakan kualitas yang menarik belas kasihan dan perkenanan Allah. Dalam dua bagian Kitab Suci, Alkitab mengulang perkataan yang persis sama: (AYT) "Allah menentang orang yang sombong, tetapi memberikan anugerah kepada orang yang rendah hati" (Yakobus 4:6; 1 Petrus 5:5). Ayat yang kedua lebih jauh memerintahkan kepada kita untuk mengenakan kerendahan hati terhadap satu sama lain dan untuk merendahkan diri di bawah tangan Allah yang penuh kuasa sehingga Dia akan meninggikan kita pada waktunya (1 Petrus 5:5-6, AYT). Sungguh penguatan dan janji yang luar biasa, bukan? Bahkan, terdapat puluhan ayat dalam Kitab Suci yang berbicara tentang kerendahan hati atau menjadi rendah hati.

Saat kita bersikap rendah hati, artinya kita bisa diajar. Itu berarti kita ingin belajar, bertumbuh, dan menjadi dewasa. Pertumbuhan dan kedewasaan adalah proses seumur hidup yang tidak berkesudahan. Ini merupakan sikap hati yang sangat diperlukan sekaligus sifat yang penting dalam hidup.

Saat kita bersikap rendah hati, kita akan memperlakukan setiap orang dengan martabat dan hormat. Kita tidak akan memandang rendah, menyalahgunakan, atau memanfaatkan siapa pun. Ini penting bagi kita, orang Kristen, karena setiap manusia diciptakan dalam gambar Allah dan oleh karena itu, dianugerahi nilai dan martabat yang terlepas dari latar belakang mereka.

Seorang yang rendah hati akan mengambil waktu untuk bersama-sama dengan orang dan menyediakan waktu untuk orang. Terdapat sesuatu yang bersifat personal tentang orang tersebut dengan orang-orang. Seorang yang rendah hati menunjukkan rasa hormat kepada orang dan berbicara baik tentang orang. Dia selalu memiliki perkataan yang positif dan memberi semangat untuk orang lain. Semua ini sangat dicontohkan dalam kehidupan Yesus. Tidak ada orang yang terlalu tidak penting, terlalu kecil, ataupun terlalu tidak berarti bagi Dia. Yesus menyediakan waktu dan bercakap-cakap dengan seorang perempuan Samaria di sumur saat tidak seorang Yahudi pun ingin berhubungan apa pun dengan orang Samaria, apalagi seorang perempuan Samaria (Yohanes 4:4-15, AYT). Yesus menghabiskan waktu bersama Zakheus si pemungut cukai yang dibenci (Lukas 19:5-7, AYT) dan memanggil Bartimeus si buta saat semua orang mencoba membungkam dia (Markus 10:46-52). Yesus ingin agar anak-anak dibawa kepada-Nya supaya Dia dapat menumpangkan tangan-Nya atas mereka, bahkan saat murid-murid-Nya pun mencoba untuk mengusir mereka (Matius 19:13-15, AYT). Saat kita bersikap personal dengan orang dan memerhatikan orang, kita sangat mencerminkan Yesus dalam hidup kita. Begitulah cara kita menyentuh hati dan mengubah hidup orang lain.

Alkitab versi Good News Translation lebih lanjut berkata, "He (God) has no use for conceited people but shows favour to those who are humble" ("Kepada para pengejek, Dia pun mengejek, tetapi kepada yang rendah hati, Dia memberi perkenanan." - Amsal 3:34, AYT). Sering kali, kita mengira bahwa seorang yang rendah hati adalah orang yang mudah dipengaruhi atau tidak banyak berguna. Pernyataan ini tidak mungkin lebih jauh lagi dari kebenaran Kitab Suci. Kebanggaan terhadap diri sendirilah yang tidak dapat Allah pakai. Seorang yang rendah hati memiliki kekuatan dari dalam, mantap dan kukuh. Dia tidak pernah memaksa, mendominasi, atau mengontrol. Orang yang demikian memiliki istirahat yang cukup, merasa puas, dan menikmati perkenanan Allah dan menanti-nantikan waktu-Nya untuk memberikan berkat. Dia tidak pernah menuntut perkenanan Allah, tetapi perkenanan itu akan datang. Allah memiliki kegunaan yang besar terhadap orang-orang semacam itu.

Kedua, terdapat kebutuhan akan akuntabilitas jika seseorang ingin menjalani hidup dengan baik. Sering kali, tidak adanya akuntabilitas dalam hiduplah yang membuat kita tersandung. Akibatnya, kita tidak menjalani hidup dengan baik atau tidak mengakhiri pertandingan dengan baik. Rasul Paulus menulis, "Pikirkanlah apa yang baik di mata semua orang" (Roma 12:17b, AYT). Lebih jauh lagi, dia menulis, "Kami berusaha melakukan apa yang benar, tidak hanya dalam pandangan Tuhan, tetapi juga dalam pandangan manusia" (2 Korintus 8:21). Jadi, diktum pengacara yang sering kita dengar yang berbunyi, "Kita tidak hanya harus melakukan apa yang benar, tetapi juga harus terlihat melakukan apa yang benar," diambil langsung dari Kitab Suci. Bahkan, segala sesuatu tentang kehidupan dan menjalani hidup berasal dari Kitab Suci dan jika kita hidup berdasarkan ajarannya, kita akan hidup dengan penuh makna, berdaya tarik, dan penuh kuasa.

Di samping mempertanggungjawabkan hidup kita di hadapan Allah, kita juga harus mempertanggungjawabkan hidup kita di hadapan orang-orang yang kita hormati dan hargai di sekitar kita. Orang-orang ini dapat bertanya kepada kita tentang apa pun dan segala hal tentang hidup kita dan bagaimana cara kita menjalaninya. Misalnya: "Seperti apakah perjalanan Anda bersama Tuhan? Apakah saya mengambil waktu untuk membaca firman Allah dan berdoa setiap hari? Apakah saya belajar dan bertumbuh? Bagaimana relasi saya dengan anggota keluarga, orang-orang terkasih, teman-teman, rekan-rekan, teman sekelas, dan lain-lain? Bagaimana relasi saya dengan gereja dan keterlibatan saya dalam kehidupan bergereja dan dalam kelompok sel? Bagaimana saya menggunakan waktu saya, apa yang saya baca dan tonton, ke mana saya pergi, dengan siapa saya bergaul, dan bagaimana saya menggunakan uang, karunia, dan sumber daya yang saya miliki? Bagaimana saya merawat kesehatan saya dan apa yang saya lakukan untuk melayani, menjangkau, dan menjadi berkat, pengaruh, dan dampak bagi orang-orang di sekitar saya?"

Semua ini adalah pertanyaan-pertanyaan seputar pertanggungjawaban yang harus kita tanyakan kepada satu sama lain. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya berfungsi untuk sekadar memeriksa kita, tetapi lebih dari itu juga untuk mendorong dan menginspirasi kita untuk membuat hidup dan waktu kita berarti bagi Yesus. Kitab Suci berkata, "Jadi, perhatikan dengan saksama bagaimana kamu hidup, jangan seperti orang bebal, jadilah bijak. Pergunakanlah waktu yang ada dengan sebaik-baiknya karena hari-hari ini adalah jahat" (Efesus 5:15-16). Kita harus memastikan bahwa kita memaksimalkan hidup, waktu, dan kesempatan kita di bumi. Karena itu, kita harus bertindak bukan hanya seperti anjing penjaga yang siap menerkam satu sama lain atas kesalahan kita, melainkan sebaliknya seperti elang yang menolong dan menginspirasi satu sama lain untuk membubung tinggi dalam Tuhan bersama-sama.

Penanda yang ketiga sekaligus yang terakhir adalah selalu bersyukur sepanjang hidup. Hidup yang penuh pujian dan ucapan syukur sangat penting untuk kita semua dalam hidup. Kitab Suci memerintahkan kepada kita, "Mengucap syukurlah dalam segala hal. Sebab, itulah kehendak Allah bagimu di dalam Kristus Yesus" (1 Tesalonika 5:18, AYT). Kita tidak diperintahkan untuk mengucap syukur atas segala hal, melainkan dalam segala hal. Di tengah penderitaan dan pergumulan, kita masih dapat mengucap syukur. Itu berkaitan dengan tindak laku dan sikap yang diambil seseorang dalam hidup. Kita menjadi lebih dewasa lebih banyak melalui penderitaan dan pergumulan daripada melalui kenyamanan dan kemudahan saat kita mengambil sikap yang benar dalam hidup. Ditambah lagi, kita sebagaimana adanya kita saat ini karena anugerah Allah, dan anugerah-Nya benar-benar cukup untuk setiap keadaan (bd. 2 Korintus 12:9).

Seseorang yang suka bersyukur tidak pernah mudah marah ataupun menggerutu. Orang semacam itu selalu dipenuhi damai sejahtera, sukacita, dan ucapan syukur. Sikap dan tindak laku semacam itu juga sering kali bersifat menular. Betapa hebatnya atmosfer yang diciptakan dan diolah oleh seseorang yang suka bersyukur! Orang yang bersyukur tidak hanya menyenangkan saat kita sedang bersama-sama dengan dia, tetapi lebih menyenangkan lagi saat kita hidup bersama mereka.

Kiranya kita semua mencerminkan sikap dan sifat yang demikian sehingga bukan hanya kehidupan kita terjalani dengan baik di bumi, tetapi juga memberi dampak dan mengubahkan hidup orang-orang di sekitar kita. (t/Odysius)


Diterjemahkan dari:
Nama situs: ASIAN BEACON
Alamat situs: https://asianbeacon.org/three-defining-marks-of-a-life-well-lived/
Judul asli artikel: Three Defining Marks of a Life Well-lived
Penulis artikel: Dato' Dr Daniel Ho

Share