Hampir dua dekade lalu, saya menulis sebuah esai berjudul "When Is Spirituality Spiritual? Reflections on Some Problems of Definition" ("Kapankah Kerohanian Itu Menjadi Rohani? Refleksi pada Beberapa Masalah Definisi").[1] Saya ingin menindaklanjuti salah satu aspek dari topik itu di sini.
Arti "Rohani" dalam Perjanjian Baru
Kerangka diskusi yang lebih luas perlu diingat. "Rohani" dan "Kerohanian" telah menjadi kata-kata yang terkenal kabur. Dalam penggunaan umum, keduanya hampir selalu memiliki nada positif, tetapi maknanya jarang berkisar dalam lingkup penggunaan alkitabiah. Orang-orang menganggap diri mereka "rohani/spiritual" karena mereka memiliki kepekaan estetika tertentu, atau karena mereka merasakan semacam hubungan mistis dengan alam, atau karena mereka mendukung versi tertentu dari salah satu agama yang sudah sangat diprivatisasi (tetapi "agama" cenderung merupakan kata dengan konotasi negatif, sementara "kerohanian/spiritualitas" memiliki nada positif). Namun, di bawah ketentuan Perjanjian Baru, satu-satunya orang yang "rohani" adalah orang yang memiliki Roh Kudus, yang dicurahkan kepada orang melalui kelahiran kembali. Alternatifnya, dalam terminologi Paulus, adalah menjadi "alami" -- hanya manusia -- dan bukan "rohani" (1Kor. 2:14). Bagi orang Kristen yang kosakata dan konsepnya tentang topik ini dibentuk oleh Kitab Suci, hanya orang Kristen yang rohani. Kemudian, dengan penambahan yang jelas, orang Kristen yang memperlihatkan kebajikan Kristen itu rohani, karena kebajikan-kebajikan ini merupakan buah Roh. Mereka yang "hanya bayi di dalam Kristus" (1Kor. 3:1), jika mereka benar-benar ada dalam Kristus, mereka rohani karena didiami oleh Roh, tetapi kehidupan mereka mungkin tidak terlalu memuaskan.[2] Meski demikian, Perjanjian Baru tidak menyebut orang Kristen yang belum dewasa sebagai orang yang tidak rohani, seolah-olah kategori "rohani" hanya disematkan hanya bagi yang paling dewasa, golongan elite dari orang-orang pilihan: itu adalah kesalahan yang umum bagi sebagian besar tradisi spiritualitas Katolik Roma, yang memahami bahwa kehidupan spiritual dan tradisi spiritual sering dikaitkan dengan orang percaya yang ingin melampaui tingkat yang biasa. Kehidupan "rohani" semacam itu sering dikaitkan dengan asketisme dan kadang-kadang mistisisme, dengan ordo para biarawati dan biarawan, dan dengan berbagai teknik yang melampaui orang Kristen biasa.
Penggunaan Populer "Disiplin Rohani"
Karena penggunaan kata "rohani" yang luas, jauh melampaui penggunaannya dalam Perjanjian Baru, bahasa "disiplin rohani" juga telah meluas ke berbagai arena yang pasti akan membuat orang yang mencintai Injil menjadi sangat gugup. Saat ini, disiplin rohani mungkin termasuk membaca Alkitab, bermeditasi, beribadah, memberikan uang, berpuasa, menyendiri, bersekutu, melakukan tindakan pelayanan, penginjilan, bersedekah, memelihara ciptaan, membuat jurnal, melakukan pekerjaan misionaris, dan banyak lagi. Ini mungkin termasuk sumpah selibat, mencambuk diri sendiri, dan melantunkan mantra. Dalam penggunaan/istilah populer, beberapa dari apa yang disebut disiplin rohani ini sepenuhnya terpisah dari doktrin tertentu apa pun, Kristen atau yang lain: mereka hanyalah masalah teknik. Itulah sebabnya orang kadang-kadang berkata, "Demi doktrin Anda, dengan segala cara, berkomitmenlah pada konfesionalisme (keyakinan akan pentingnya persetujuan penuh dan tidak ambigu terhadap keseluruhan ajaran agama - Red.) injili. Akan tetapi, jika menyangkut disiplin rohani, beralihlah ke Katolik atau mungkin Buddha." Apa yang secara universal diandaikan oleh ungkapan "disiplin rohani" adalah bahwa disiplin semacam itu dimaksudkan untuk meningkatkan kerohanian kita. Namun, dari sudut pandang Kristen, tidak mungkin meningkatkan kerohanian seseorang tanpa memiliki Roh Kudus dan tunduk pada ajaran dan kuasa-Nya yang mengubahkan. Teknik tidak pernah bersifat netral. Mereka selalu sarat dengan praanggapan teologis, yang sering kali tidak disadari.
Orang Kristen dan Disiplin Rohani
Bagaimana kita mengevaluasi pendekatan populer terhadap disiplin rohani ini? Bagaimana seharusnya kita memikirkan disiplin rohani dan hubungannya dengan spiritualitas seperti yang didefinisikan oleh Kitab Suci? Berikut beberapa refleksi pengantar:
- Pengejaran pengetahuan mistik tentang Allah tanpa perantaraan tidak dibenarkan oleh Kitab Suci, dan berbahaya dalam berbagai cara. Tidak peduli apakah pengejaran ini dilakukan dalam batas-batas, katakanlah, Buddhisme (meskipun umat Buddha yang berwawasan tentang agamanya tidak mungkin berbicara tentang "pengetahuan mistis tentang Allah tanpa perantaraan" -- bagian 'tentang Allah' kemungkinan akan dihilangkan)[3] atau, dalam tradisi Katolik, oleh Julian dari Norwich. Keduanya tidak mengakui bahwa akses kita pada pengetahuan tentang Allah yang hidup dimediasi secara eksklusif melalui Kristus, yang kematian dan kebangkitan-Nya mendamaikan kita dengan Allah yang hidup. Mengejar pengetahuan mistik tentang Allah tanpa perantara berarti mengumumkan bahwa pribadi Kristus dan karya pengorbanan-Nya atas nama kita tidak diperlukan untuk mendapat pengenalan akan Allah. Sayangnya, sangat mudah untuk menikmati pengalaman mistik, menyenangkan dan menantang dalam caranya sendiri, tanpa mengetahui apa pun tentang kuasa regenerasi Allah, yang didasarkan pada karya salib Kristus.
- Kita harus menanyakan apa yang menjamin, termasuk item tertentu, dalam daftar disiplin rohani. Bagi orang-orang Kristen, yang memahami fungsi regulatif Kitab Suci, tentunya tidak ada yang dapat dianggap sebagai disiplin rohani jika hal itu tidak disebutkan dalam Perjanjian Baru. Hal ini cenderung tidak hanya menghapuskan tindakan mencambuk diri sendiri, tetapi juga pemeliharaan terhadap ciptaan. Tidak diragukan lagi, setidaknya pemeliharaan terhadap ciptaan adalah hal yang baik untuk dilakukan: itu adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai penatalayan ciptaan Allah. Akan tetapi, sulit untuk memikirkan perintah alkitabiah untuk melihat aktivitas semacam itu sebagai disiplin rohani -- yaitu, sebagai disiplin yang meningkatkan kerohanian kita. Alkitab berbicara cukup banyak tentang doa dan menyimpan firman Allah dalam hati kita, tetapi sedikit menyebutkan tentang pemeliharaan terhadap ciptaan dan melantunkan mantra.
- Beberapa entri dalam daftar sedikit ambigu. Pada satu sisi, Alkitab tidak mengatakan apa-apa tentang membuat jurnal. Pada sisi lain, jika pembuatan jurnal hanya sekadar label mudah untuk mewakili pemeriksaan diri yang cermat, penyesalan, pembacaan Alkitab yang bijaksana, dan doa yang jujur, dengan menggunakan kebiasaan menulis jurnal untuk mendorong keempatnya, itu tidak dapat dikesampingkan sebagaimana yang harus dilakukan pada tindakan mencambuk diri sendiri. Rasul menyatakan selibat sebagai hal yang sangat baik, asalkan seseorang memiliki karunia (baik pernikahan maupun selibat diberi label karismata, "karunia"), dan asalkan itu demi peningkatan pelayanan (1Kor. 7). Pada sisi lain, tidak ada bagian yang menunjukkan bahwa selibat adalah keadaan yang secara intrinsik lebih suci, dan sama sekali tidak ada jaminan di bawah ketentuan Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa menjadi biarawan atau biarawati selibat yang secara fisik menarik diri dari dunia dapat menjadikan seseorang lebih rohani. Meditasi tidak selalu secara otomatis merupakan hal yang baik. Sebagian besar tergantung pada fokus meditasi seseorang. Apakah itu salah satu bintik hitam yang dibayangkan pada selembar putih? Ataukah itu hukum Tuhan (Mzm. 1:2)?
- Disiplin rohani yang akan diakui oleh hampir semua orang pun tidak boleh disalahpahami atau disalahgunakan. Ungkapan itu berpotensi menyesatkan: disiplin rohani, seolah-olah ada sesuatu yang intrinsik atau yang berasal dari dalam untuk pengendalian diri, terhadap penerapan disiplin diri, yang membuat seseorang menjadi lebih rohani. Asumsi dan asosiasi mental seperti itu hanya dapat mengarah pada kesombongan; lebih buruk lagi, hal-hal itu sering mengarah pada penghakiman yang merendahkan: orang lain mungkin tidak serohani saya, karena saya cukup disiplin untuk memiliki waktu doa yang sangat baik atau skema pembacaan Alkitab yang luar biasa. Akan tetapi, elemen yang benar-benar transformatif bukanlah disiplin itu sendiri, tetapi kelayakan dari tugas yang dilakukan: nilai dari doa, nilai dari membaca firman Allah.
- Membuat daftar berbagai macam tanggung jawab Kristen dan melabelinya sebagai disiplin rohani bukanlah hal yang membantu. Tampaknya itulah alasan di balik teologi yang menyelundupkan, katakanlah, pemeliharaan terhadap ciptaan dan sedekah. Akan tetapi, dengan logika yang sama, jika Anda memberikan pijatan punggung kepada seorang wanita tua yang menderita leher kaku dan bahu yang sakit karena didorong oleh kebaikan Kristen, maka pijatan punggung menjadi disiplin rohani. Dengan logika seperti itu, setiap ketaatan Kristen adalah disiplin rohani, yaitu membuat kita menjadi lebih rohani. Menggunakan kategori disiplin rohani dengan cara itu memiliki dua keterlibatan yang tidak menguntungkan. Pertama, jika setiap contoh ketaatan adalah disiplin rohani, maka tidak ada yang istimewa tentang sarana anugerah yang ditekankan secara tegas dan diamanatkan secara alkitabiah: doa, misalnya, serta pembacaan serius dan meditasi akan firman Allah. Kedua, cara berpikir tentang disiplin rohani seperti itu secara halus membujuk kita untuk berpikir bahwa pertumbuhan spiritualitas adalah fungsi yang tidak lebih dari keselarasan pada tuntutan dari banyaknya aturan, dari banyaknya kepatuhan. Tentu saja, kedewasaan Kristen tidak terwujud jika tidak ada ketaatan. Namun, ada juga banyak penekanan pada pertumbuhan dalam kasih, dalam kepercayaan, dalam memahami cara-cara Allah yang hidup, pada karya Roh dalam memenuhi dan memberdayakan kita.
- Untuk alasan-alasan ini, tampaknya bijak untuk membatasi label "disiplin rohani" pada kegiatan-kegiatan yang ditentukan Alkitab, yang secara eksplisit dikatakan untuk meningkatkan pengudusan kita, keserupaan kita dengan Kristus Yesus, pendewasaan rohani kita. Ketika Yesus dalam Yohanes 17 berdoa agar Bapa-Nya menguduskan para pengikut-Nya melalui kebenaran, Dia menambahkan, "Firman-Mu adalah kebenaran." Tidak heran bahwa orang percaya telah lama melabeli hal-hal seperti studi tentang kebenaran Injil sebagai "sarana anugerah" -- ungkapan indah yang tidak mudah disalahartikan dibandingkan disiplin rohani.
1 JETS 37 (1994): 381-94.
2 Catatan editor: Bdk. D. A. Carson, "The Cross and the Holy Spirit: 1 Korintus 2:6-16," dalam "The Cross and Christian Ministry: Leadership Lessons from 1 Corinthians" (Grand Rapids: Baker, 2004), 43-66.
3 Lihat Keith Yandell dan Harold Netland, "Buddhisme: A Christian Exploration and Appraisal" (Downers Grove: IVP, 2009).
[Menjawab pertanyaan: Apa pandangan Anda tentang disiplin sehari-hari dalam kehidupan Kristen -- perlunya meluangkan waktu untuk menyendiri bersama Allah?] -- Kita memiliki perintah wajib Perjanjian Baru tentang masalah ini. Saya beranggapan bahwa setiap orang yang menjadi seorang Kristen akan melakukan praktik ini. Hal ini diperintahkan kepada kita oleh Tuhan kita; dan karena itu adalah perintah-Nya, saya percaya untuk mengikutinya. Adalah selalu mungkin bahwa Yesus Kristus bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakan-Nya ketika Dia menyuruh kita untuk mencari tempat tersembunyi dan menutup pintu.
-- C.S. Lewis
- Saat berbicara tentang "sarana anugerah yang ditekankan secara empatik, yang diamanatkan secara alkitabiah," Carson secara khusus mengutip doa serta pembacaan serius dan meditasi dari firman Allah. Apakah Anda mempraktikkan disiplin rohani ini setiap hari? Jika tidak, apakah ada langkah spesifik yang ingin Anda ambil untuk menjadikannya bagian dari kehidupan sehari-hari Anda? Dapatkah Anda memikirkan cara-cara bagaimana Anda dapat memperkaya kehidupan doa dan/atau waktu Anda dalam membaca dan merenungkan Kitab Suci?
- Sambil menekankan perlunya ketaatan bagi kedewasaan Kristen, penulis mengamati "ada juga banyak penekanan pada pertumbuhan dalam kasih, dalam kepercayaan, dalam memahami jalan-jalan Allah yang hidup, pada pekerjaan Roh dalam memenuhi dan memberdayakan kita." Apakah Anda ingin meminta Allah untuk menunjukkan kepada Anda cara-cara bagaimana Anda dapat bertumbuh dalam berbagai wilayah ini? (t/N. Risanti)
Diterjemahkan dari:
Nama situs: C.S. Lewis Institute
Alamat situs: https://www.cslewisinstitute.org/webfm_send/6134
Judul asli artikel: Spiritual Disciplines
Penulis artikel: D.A. Carson, Ph.D.